Syekh Muhammad Abduh- tokoh pembaru Islam dari Mesir; dalam suatu kesempatan, Beliau mengatakan, “Al-Islam mahjubun bil-muslimin.” Islam itu tertutup oleh umatnya sendiri.
Islam melarang melakukan zina, namun banyak pengikutnya yang melakukan perzinahan. Padahal zina merupakan suatu dosa besar, tetapi masih banyak yang melakukannya. Bahkan terkadang pelakunya bukanlah orang-orang awam yang kurang ilmu agama, namun tokoh-tokoh pemimpin yang seharusnya menjadi teladan juga ikut terjerumus dalam perbuatan nista ini.
Islam memerintahkan untuk menepati janji dan memegang teguh sifat amanah. Namun banyak penganutnya yang justru gemar berbohong dan ingkar janji, belum lagi perilaku korupsi yang kerap kali dilakukan oleh oknum pejabat muslim.
Hal inilah yang terjadi saat ini, di mana perilaku muslim yang tidak mencerminkan ajaran Islam akan menyebabkan stigma negatif pada ajaran Islam itu sendiri. Belakangan, kita banyak mendengarkan berita-berita tokoh Islam yang sedang terkena kasus atau terlibat dalam suatu skandal. Setelah itu tidak sedikit dari warganet yang membicarakan aibnya. Bahkan tidak sungkan untuk melontarkan tanggapan negatif berupa hinaan, cacian, dan perilaku tidak terpuji lainnya. Parahnya, ada yang menganggap perilaku seorang tokoh itu adalah karena faktor agama Islam dan syariat yang dianutnya. Kemudian mereka justru menyerang dan menyalahkan ajaran Islam lantaran perilaku oknum tadi.
Padahal kita tahu bahwa antara Islam dan muslim adalah dua hal yang berbeda. Islam secara bahasa artinya tunduk, patuh, dan selamat. Sedangkan secara istilah, Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia agar selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan muslim artinya orang yang menganut agama Islam. Islam adalah agama yang sempurna, namun seorang muslim tidaklah sempurna.
Olehnya, seorang muslim pasti memiliki potensi untuk melakukan dosa dan kesalahan. Kesalahan atau perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seorang muslim bukanlah representasi dari ajaran Islam, melainkan representasi dari seorang individu itu sendiri. Maka sangat tidak bijak jika kita menilai dan menghakimi Islam melalui perbuatan menyimpang dari salah satu oknumnya.
Ibarat sebuah instansi atau sekolah; ketika di dalam sekolah itu ada yang melakukan pencurian, maka yang salah adalah orang yang melakukan pencurian tersebut. Dan kita tidak bisa mengatakan bahwa pencurian ini disebabkan oleh instansi atau sekolah tersebut. Karena setiap orang sejatinya memilki potensi yang sama untuk melakukan tindakan itu, terlepas dari instansi atau sekolah yang dia masuki. Dari kejadian ini juga kita tidak bisa serta merta mengatakan instansi atau sekolah itu adalah instansi dan sekolah pencuri.
Melihat penjelasan ini, maka sangat tidak bijak jika kita mengaitkan kejadian perselingkuhan seorang publik figur muslimah yang sempat menghebohkan dunia maya beberapa waktu lalu dengan jilbab yang dikenakannya. Karena jilbab dan perilaku adalah dua hal yang berbeda. Muslimah yang berjilbab memang belum tentu baik, namun muslimah yang baik sudah pasti berjilbab.
Anehnya, beberapa orang justru melontarkan komentar yang sangat tidak bijak dan berdasar seperti, “Lebih baik saya tidak berjilbab, tetapi tidak menjadi duri di kehidupan rumah tangga orang lain. Daripada dia yang berjilbab tapi justru menyebabkan masalah di rumah tangga orang lain.”
Hal ini tentu sangat tidak berdasar, karena sejatinya jilbab adalah kewajiban bagi setiap muslimah, terlepas apakah akhlaknya sudah baik atau belum. Tentang kewajiban jilbab ini, Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan dalam surah An-Nur ayat 31:
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”
Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslimah untuk terus mengenakan jilbabnya meskipun merasa belum sepenuhnya baik. Setidaknya dengan berjilbab, artinya dia sedang berusaha untuk mengurangi potensi dosa yang bisa dilakukannya.
Mengolok-olok jilbab atau sesuatu yang merupakan bagian dari syariat adalah haram hukumnya. Hal ini Allah subhanahu wa ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 65:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
. Sejatinya, setiap manusia tidak terlepas dari segala potensi kesalahan dan dosa. Namun, bangga dengan kemaksiatan dengan dalih tidak ingin jadi munafik adalah salah satu kebodohan yang sedang dipertontonkan.
Olehnya, penulis mengajak kepada kita semua untuk lebih menjaga sikap dan perilaku kita sebagai muslim. Agar perilaku yang kita tampakkan akan memunculkan citra keindahan Islam. Hendaknya kita juga bisa lebih bijak dalam menilai sesuatu pada tempatnya. Islam itu sempurna, sedangkan muslim tidak. Jika ada seorang muslim melakukan kesalahan, maka yang patut untuk kita salah adalah individunya, bukan agama dan syariat yang dianutnya.
Allahu A’lam Bishowab